Semanis Kopi
Halo sob, udah lama gw gak nongol nih. Harap maklum anak sibuk. Lebih tepatnya sok sibuk sih :v Oh iya untuk kalian yg lagi nunggu resensi novel Senyum Dahlan, harap sabar menunggu ya. Ini sedang dalam proses pengerjaan. Sambil menunggu kalian bisa membaca cerpen gw nih. Udah lama bikinnya waktu SMP (tugas ceritanya). Cerpen ini bercerita tentang kehidupan seorang anak perempuan pindahan. Ya bisa dikatakan dia kurang beruntung awalnya. Tetapi ketidakberuntungan itu justru membuat hari2nya penuh dengan cerita2 yang menarik. Penasaran seperti apa ceritanya?
Teng…teng…teng… Bel
pulang berbunyi kami berhambur keluar agar sampai ke rumah. “Pelangi, maafin
aku ya? Selama ini aku sudah nakal sama kamu. Sekarang aku sadar itu perbuatan
yang tidak baik,” ucapnya perlahan sambil menundukkan kepalanya. “Oh, kamu
sudah sadar? Aku kira kamu gak bakal
sadar-sadar. Hehehe… “ ledekku. “Ihh, kamu itu. Aku serius,” ucapnya. “Maaf
tadi aku cuma bercanda. Aku tahu kok. Kamu sebetulnya itu baik. Kopi saja bisa
enak kalau ditambah air sama gula. Padahal sewaktu masih bubuk rasanya pahit.
Apalagi manusia yang punya perasaan. Kalau tidak bisa berubah menjadi yang
lebih baik mungkin mengalami gangguan jiwa. Hahaha…,” ucapku. “Untung saja aku
bukan orang seperti itu. Kalau iya, aku sudah jadi apa nantinya. Hahaha… Eh,
kopi? Kayaknya aku pernah baca kata-kata seperti itu. Di mana ya?” tanyanya
keheranan. “Aduh kumat lagi pikunnya. Coba diingat-ingat,” sahutku. “Oh, iya
aku ingat”, ucapnya tiba-tiba, “Dimana?” tanyaku. ”Bukannya itu ada di cerpen
buatan kamu ya? Eh, bentar-bentar. Jadi tokoh yang ada di cerpen itu aku?”
tanyanya kaget. “Yup, betul. Selamat
anda mendapatkan hadiah. Silakan mengambilnya di orang tua anda. Hehehe…”
ucapku geli. “Hahaha… Aku baru sadar. Eh, kamu mau gak jadi sahabatku. Karena, aku belum pernah bertemu dengan orang
yang sebaik kamu,” ajaknya. “Oke, jadi kita akan jadi sahabat dari sekarang
sampai selamanya?” tanyaku. “Yup,
betul. One for all and all for one!”
teriaknya senang. “Setuju!” teriakku balik. Akhirnya kami berdua bersahabatan.
Persahabatan ini akan selalu kami jaga sampai akhir hayat. Pelangi and Steven forever and after.
Semanis
Kopi
Teng…teng…teng… Bel masuk berbunyi. Biasanya
semua siswa langsung berbaris dengan rapi. Tetapi, kali ini berbeda. Mereka
hanya terdiam melihat seseorang di gerbang sekolah. Putri Pelangi Rahmawati,
itulah aku. “Hey, siapa kamu?” tanya salah satu dari mereka. “Perkenalkan
namaku Pelangi. Kalau kamu siapa?” tanyaku balik. “Namaku Steven. Kamu mau apa
ke sini? Mau berenang ya? Hahaha…” sahutnya. “Ya mau sekolah lah. Kalau mau berenang ya di kolam renang,”
sahutku kesal. “Gitu aja marah. Woles bro,”
ledeknya. Aku menghela nafas. Aku hanyalah murid baru dan tidak ingin mencari masalah
dengannya. Akhirnya, kutinggalkan dia
tanpa menoleh sedikitpun.
………………………
Tok…tok…tok…
“Permisi,” ucapku perlahan. “Iya, silakan masuk,” ucap Bu Elli, salah satu dari
guru Bahasa Indonesia. “Terima kasih bu,” jawabku singkat. “Bukankah kamu Putri
dari luar kota itu? Mari ibu antar kamu ke kelas,” ajak Bu Elli. “Baik bu,”
jawabku memberikan tanda setuju.
“Nanti aku harus bilang apa aja? Nama, tempat
tinggal, umur dan asal sekolah. Itu saja? Ahh, aku bingung. Gimana nih?”
tanyaku dalam hati. Beribu-ribu pertanyaan memutari pikiranku. Aku masih belum
siap ke kelas baruku. Apakah yang akan terjadi setelah ini? Aku juga tidak
tahu, setidaknya aku sudah berusaha. “Semangat Pelangi. Semangat! Semangat!
Kamu pasti bisa,” ucapku untuk meningkatkan rasa percaya diriku.
………………………
Ngiik… Seketika
seisi kelas langsung menengok ke arah pintu. “Maaf, mengganggu sebentar. Ibu
akan mengenalkan kepada kalian siswa baru dari luar kota. Putri silakan
perkenalkan diri kamu ke teman-teman,” ucap Bu Elli dengan ramahnya. Aku hanya
mengangguk pelan. Kulihat semuanya melihat ke arahku. Seketika aku terkejut
melihat sesosok orang yang aku kenal. Nampaknya dia juga terkejut saat
melihatku. Steven, anak yang menyebalkan itu lagi. “Kamu lagi?” tanyaku dalam
hati.
“Hai teman-teman. Perkenalkan namaku Putri
Pelangi Rahmawati. Umurku 14 tahun. Aku
berasal dari SMP Tunas Wijaya. Aku tinggal di Perumahan Pondok Indah Blok C
No.9,” sapaku. “Hey, dia dari SMP Tunas Wijaya. Pasti dia pintar. Jadi tambah
saingan nih,” gerutu Nuri, salah satu
siswa yang tepat duduk di depanku. Mereka terkejut karena aku berasal dari SMP
Tunas Wijaya. SMP Tunas Wijaya merupakan salah satu sekolah yang cukup disegani
karena terkenal dengan prestasi gemilangnya. Hampir setiap tahun sekolah itu
mendapatkan piala dari berbagai kejuaraan baik tingkat kabupaten maupun
provinsi. Bahkan beberapa kejuaraaan sampai ke tingkat nasional. “Iya, nih. Bakal ada PR baru buat kita,” sahut
siswa lainnya. “Tenang anak-anak. Putri silakan duduk di bangku yang kosong
tersebut,” ucap Bu Elli menenangkan suasana. “Baik bu,” jawabku sambil
menganggguk. “Astaga, kenapa di sana? Dekat dengan dia? Ih, males banget,”
gerutuku dalam hati. Ternyata, bangkuku dengan Steven bersebelahan. “Sabar…sabar…”
ucapku untuk menenangkan diri.
……………………….
Teng…teng…teng… Semua
siswa berlari menuju kantin. Aku hanya duduk di depan kelas sambil memakan
bekal yang sudah aku bawa dari rumah. “Eh, kamu itu panggilannya siapa sih? Pelangi atau Putri? Punya nama kok
bingungin orang lain aja,” tanya Steven tiba-tiba. Spontan aku tersedak karena
kaget. “Maaf, aku ngagetin kamu ya?” tanyanya lagi. “Oh, enggak kok. Aku aja
yang makannya terburu-buru jadi tersedak deh”,
jawabku menenangkannya,”tadi kamu tanya apa ya?” “Hadeh, kalau ada orang nanya
itu diperhatiin malah fokus makan aja. Makanya jangan mikirin makanan melulu,”
ledeknya. “Ya, maaf. Itu kan juga
salahmu yang datang tiba-tiba. Jadinya aku
gak tahu kamu tanya apa,” sahutku ketus.”Iya-iya aku ngaku salah. Ya, udah
aku mau masuk kelas aja. Daripada di sini buang tenaga aja,” jawabnya. “Katanya
mau tanya, kok malah masuk lagi? Ternyata dia aneh,” ucapku geli.
………………………..
“Sekarang kita masuk
materi cerpen. Sebelum kalian membuat cerpen sendiri-sendiri. Kalian akan
membuatnya berkelompok terlebih dahulu. Ibu akan membagi kalian menjadi
beberapa kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 2 orang. Kelompoknya yang bagi
ibu atau kalian?” terang Bu Elli. “Bu Elli saja biar adil,” jawab Nuri. “Kalau
begitu ibu akan mengucapkan namanya ya? Kelompok 1 yaitu Nuri dan Sarah. Kelompok
2 yaitu Steven dan Putri…” “Apa yang tadi aku dengar? Aku bakalan sekelompok
sama anak menyebalkan itu? Oke, itu adalah tantangan doang. Semoga saja gak ada
masalah yang berarti,” keluhku dalam hati. “Waktu pembuatan selama 1 bulan.
Yang lebih awal mengumpulkannya akan mendapatkan nilai tambahan. Boleh
berdasarkan pengalaman pribadi atau imajinasi kalian. Tema boleh petualangan,
persahabatan, percintaan, kasih sayang atau yang lainnya. Silakan berkumpul
menurut kelompoknya masing-masing untuk menentukan temanya,” terang Bu Elli
panjang lebar.
“Pelangi,
sini! Di tempatku aja,” ajak Steven.
“Enggak ah,
di sini aja lebih nyaman. Bawah kipas angin loh,” rayuku.
“Ya udah deh. Kebetulan aku juga kepanasan habis
main basket.”
“Pantes kok
bau prengus dari tadi. Ternyata kamu
yang bau,” ledekku.
“Enak aja
ya? Bau badanku itu istimewa. Gak ada
yang nandingin deh. Paling harum
sedunia. Hahaha...” celotehnya sambil cengengesan.
“Dunia gaib
ya? Kalau itu sih aku setuju banget,”
ledekku lagi sambil menjulurkan lidah.
“Udah ah
bercandanya. Katanya mau nentuin tema buat bikin cerpen. Kok malah ngejek aku
sih? Pelangi cah nakal. Huuu…”
“Iya-iya,
aku minta maaf. Gitu aja ngambek. Kita mau ngambil tema apa?”
“Persahabatan
sama petualangan gimana? Misalnya, ada tiga sekawan berpetualang waktu hari
libur ke suatu tempat,” usulnya.
“Tempatnya
kayak gimana nih?”
“Kamu
dari tadi tanya doang.”
“Hehehe… Gimana kalau tempat yang misterius. Kayak
tempat yang gak pernah dikunjungi
terus gak ada penghuninya.”
“Hem… Idemu bagus juga. Di rumah coba buat dulu. Besok
kita lihat jadinya seperti apa,” ucapnya bak orang pintar.
“Oke-oke.
Nanti aku coba bikin deh.”
“Sebentar lagi bel pulang berbunyi. Silakan
kembali ke tempat duduknya masing-masing untuk beres-beres,” ucapku Bu Elli.
“Baik bu,” jawab kami serempak. “Nuri, silakan memimpin doa,” sarannya. “Baik
bu. Di tempat duduk siap grak! Berdoa…mulai…”,
pimpin Nuri, “selesai… Kepada bu guru beri salam…Selamat siang bu…” “Selamat
siang,” jawabnya sambil keluar kelas.
“Eh Pelangi tunggu dulu aku mau bilang sesuatu,” teriak
Steven.
“Ihh, apa lagi? Mau pulang aja repot. Cepat ya? Nanti
aku ketinggalan angkot,” tanyaku sengit.
“Iya-iya, gak sampai
2 menit kok.”
“Ya, udah deh.
Tapi ingat loh gak sampai 2 menit.
Emangnya mau bilang apa?”
“Gini, aku mau tanya. Hem, tanya apa ya? Hehehe, aku
lupa. Bentar aku ingat-ingat dulu,” ucap Steven dengan polosnya.
“Duh, masih muda kok udah pikunan. Ya udah, aku pulang
dulu ya? gak penting kan?”
“Jangan pulang dulu! Tungguin dong. Hem… Oh, iya aku
ingat.”
“Apa?”
“Jangan lupa bikin cerpennya.”
“Itu doang? gak bisa
lebih panjang lagi ya?”
“Bisa kok, dengar ya? Beessoook jaaangaaan luuupaaa
biiiikiiin ceeeeerrrpeeeennyaaaaa yaaaa?” ledeknya.
“Steven! Uhh, bukan gitu maksudku,” teriakku kesal.
“Ciiee yang manggil-manggil namaku suka ya? Hahaha...”
ledeknya lagi.
“Ihh, siapa yang suka sama aku. Gak keleus!” jawabku dengan suara lebih tinggi.
“Eh, maaf-maaf. Cuma bercanda. Ya, gitu deh. Kamu ingat kan? Siapa yang lebih
cepat bakal dapat nilai tambahan. Kan lumayan…”
“Hem, benar juga sih. Oke, aku maafin untuk kali ini.
Kalau kamu bikin aku marah lagi gak bakal
kuampuni dirimu. Hahaha…,” ejekku balik.
“Jadi gantian aku nih?”
“Iya. Hahaha… Eh, aku pulang dulu ya. Kayaknya mau
hujan. Udah mendung nih,”
“Oke, sampai jumpa besok,”
……………………
“Kok gak ada angkot? Emangnya jam berapa
sekarang?” tanyaku keheranan. “Kamu udah ketinggalan angkot ya?“ ajak Steven
tiba-tiba. “Eh, kamu malah ngikutin aku. Hem… iya sih aku ketinggalan angkot
gara-gara kamu nih,” gerutuku. “Hehehe… Ya maaf. Sebagai permintaan maafku, mau
aku antar pulang? Gratis lho. Naik
mobil mewah lagi. Hahaha…,” ajaknya. “Maksudnya aku pulang bareng sama kamu?
Ngrepotin gak nih?” tanyaku untuk
meyakinkan. Daripada gak pulang
gara-gara ketinggalan angkot, lebih baik aku pulang bareng dia. Walaupun
sebetulnya males banget. “Enggak kok. Lagian rumah kita kan searah,” sahutnya. “Okelah kalau begitu. Makasih ya sudah mau
nganterin aku pulang,” ucapku. “Iya, sama-sama Pelangi,” jawabnya sambil
tersenyum lebar.
…………………
Jam sudah
menunjukkan pukul 22.00 Tetapi aku belum tidur. Mataku masih tertuju ke layar
laptop kesayanganku. Yup, aku masih
mengerjakan tugas cerpen supaya cepat selesai. Hem, ternyata Steven baik juga.
Sayang, dia anaknya usil banget. Dia itu kayak kopi. Awalnya waktu masih bubuk
rasanya pahit. Kalau sudah diberi gula dan air jadi minuman yang enak. Mirip kan? Aku ajak dia bertemanan denganku.
Lambat laun dia menjadi anak baik.
Aha, aku punya ide. Aku bikin cerpen dengan tokoh
dia dan aku beri judul “Semanis Kopi”. Jadi ceritanya ada anak nakal karena
diperlakukan baik dia tidak nakal lagi. 1 jam berlalu begitu cepat. Akhirnya
aku telah menyelesaikan tugasnya. Kita tunggu saja besok. Apakah dia akan
setuju dengan cerpenku? Setidaknya aku sudah membuat cerpen. “Steven sudah
bikin cerpen belum ya? Kok perasaanku mengatakan kalau dia belum bikin cerpen
ya? Ah, lupakan. Aku tidur saja supaya besok gak kesiangan,” ucapku sendiri. Kumatikan lampu di sampingku. Suara
jangkrik memecah kesunyian malam. Sinar rembulan menemami tidurku yang
lelap.
…………………
“Stev, ini cerpenku.
Mana cerpenmu? Boleh lihat gak?” tanyaku. “Hehehe, gini Pelangi. Aku semalam
ketiduran. Jadinya aku belum sempet bikin cerpen. Cerpenmu sudah jadi kan? Syukur deh kalau gitu. Yuk kita kumpulin ke Bu Elli,” sahutnya. “Apa?
Jadi, ceritanya kamu belum bikin cerpen?” teriakku kaget. Dugaanku ternyata
benar. Ternyata dia memang belum membuat cerpen.
Teng…teng…teng…”Cepat baris. Malah pacaran
mulu,” ledek Nuri. “Eh, ngawur kamu. Aku sama Steven lagi bicarain cerpen tau,”
sahutku kesal. “Iya-iya maaf. Habis kamu lama sih,” ucapnya membela diri. “Oke, aku juga salah sih. Hehehe…,” ucapku. Akhirnya kami
berbaris dengan rapi. Bu Elli menunggu kami di depan pintu.
Di dalam kelas kami duduk dengan tenang.
“Anak-anak, apakah ada cerpen yang sudah selesai?” tanya Bu Elli. “Belum bu. Kan baru kemarin yang beri tugasnya,”
sahut Sarah. “Bu, kelompok saya sudah selesai cerpennya. Mau dikumpulkan
sekarang ya bu?” sahutku. “Putri, kemarin kamu dengan Steven kan? Karena kalian mengumpulkannya
paling awal. Maka kalian akan mendapatkan nilai tambahan sesuai dengan janji Bu
Elli kemarin,” ucapnya. “Terima kasih bu,” ucapku senang. “Pelangi, terima
kasih ya? Kamu sudah bikin cerpennya,” sahut Steven tiba-tiba. “No problem. Itu juga buat bersama
nilainya. Jadi aku juga tidak rugi. Hahaha…,” ucapku sambil tersenyum lebar.
……………………
Posting Komentar